DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Initiative Literasi Braille di Indonesia
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    24 March 2016

    Initiative Literasi Braille di Indonesia



    DR. Didi Tarsidi, Universitas Pendidikan Indonesia

    Disajikan pada
    Seminar Pembangunan Literasi Braille Nusantara
    Kuala Lumpur, Mlaysia, 7-8 Maret 2016

    Pendirian sekolah khusus bagi tunanetra (special schools for children with visual impairment – known as SLB/A) di Indonesia dirintis oleh Dr. Westhoff, seorang dokter mata berkebangsaan Belanda (Netherlands) ketika dia mendirikan Blinden Instituut (Institute for the Blind) pada tahun 1901 di Bandung. Setelah beberapa kali berganti nama dan berganti kepengurusan, hingga kini lembaga tersebut masih berdiri di lokasi yang sama dengan nama PSBN Wyata Guna dan SLB/A Negeri Bandung.

    Pada tahun 1952, tujuh tahun sesudah kemerdekaan, pemerintah Indonesia memberlakukan undang-undang pendidikan yang pertama. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa semua anak usia enam tahun berhak untuk bersekolah dan anak usia delapan tahun wajib bersekolah sekurang-kurangnya selama enam tahun. Sehubungan dengan anak-anak yang memiliki kelainan, undang-undang itu menyatakan bahwa pendidikan luar biasa disediakan bagi mereka yang membutuhkannya. Diberlakukannya undang-undang tersebut telah mendorong dibukanya sejumlah sekolah baru yang khusus untuk anak-anak yang menyandang kelainan, termasuk untuk anak tunanetra.
    Menurut data statistik dari Kementerian Pendidikan tahun 2008, di Indonesia terdapat 32 SLB/A. Di samping itu, terdapat juga 1036 Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak-anak dari bermacam-macam kategori disabilitas termasuk tunanetra, dan banyak siswa tunanetra yang belajar di seikolah-sekolah inklusif.

    Berapakah jumlah orang tunanetra di Indonesia? Data sensus penduduk Indonesia tahun 2010 menyatakan bahwa populasi Indonesia lebih dari 237 juta orang, dan populasi anak usia sekolah (7-17 tahun) diperkirakan sebanyak 49.6 juta orang (atau lebih dari 20%). Beberapa sumber menyatakan bahwa populasi tunanetra diperkirakan antara 1-1.5% dari jumlah penduduk Indonesia. Ini berarti bahwa jumlah orang tunanetra di Indonesia dapat diperkirakan lebih dari tiga juta orang, sehingga jumlah anak tunanetra usia sekolah dapat diperkirakan sekitar 600 ribu orang. Data statistik Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan tahun 2012 menyatakan bahwa angka partisipasi sekolah anak penyandang disabilitas adalah sekitar 34.2%. Akan tetapi, data itu menyatakan bahwa jumlah siswa di seluruh Sekolah Khusus di Indonesia (untuk berbagai kategori disabilitas) adalah hanya 89,200 orang. Di samping itu, terdapat sekitar 125 ribu siswa penyandang disabilitas di sekitar 2,430 sekolah inklusif. Angka-angka ini menunjukkan bahwa masih perlu upaya pendataan lebih lanjut di Indonesia untuk mengetahui jumlah populasi tunanetra dan jumlah tunanetra usia sekolah yang sesungguhnya.

    Braille merupakan media tulis utama dalam pendidikan bagi anak tunanetra pada tingkat dasar. Pada tingkat-tingkat selanjutnya, rekaman audio dan soft copy juga dipergunakan di samping Braille. Pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi, bahkan penggunaan bahan bacaan dalam format soft copy menjadi lebih dominan.
    Reglet dan pen (slate and stylus) pada umumnya merupakan alat tulis yang digunakan karena alasan harga yang terjangkau dan portabilitas. Harga sepasang reglet dan pen (dari plastik) di Indonesia sekitar Rp. 40 ribu (±12.5 ringgit Malaysia).

    Braille pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda pada awal abad ke-20 di Blinden Instituut, Bandung, menggunakan sistem yang berlaku di Negeri Belanda. Setelah kemerdekaan, sistem yang berlaku di Kerajaan Inggris dan Amerika Serikat juga diperkenalkan.
    Pada tahun 1960-an, guru-guru di berbagai Sekolah Khusus bagi Tunanetrra menyadari pentingnya keberadaan sistem Braille yang seragam. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan membentuk sebuah Kelompok Kerja untuk penyeragaman sistem Braille tersebut. Hasil kerja kelompok tersebut dibakukan dan diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan pada tahun 1972. Sistem tulisan Braille tersebut mencakup Braille bahasa Indonesia (literary Braille) termasuk sistem tulisan singkat Braille Indonesia (Indonesian contracted Braille) dan tanda-tanda matematik.
    Ini merupakan pencapaian penting. Namun demikian, masih ada kritik terhadap sistem Braille ini. Untuk banyak orang, sistem tulisan singkat Braille Indonesia (yang dikenal dengan akronim “tusing”) sulit untuk dipelajari, dan banyak tanda-tanda sains (scientific codes) belum tercantum. Oleh karena itu, pada tahun 1998-2000, sebagai respon terhadap desakan dari organisasi-organisasi ketunanetraan, Kementerian Pendidikan menyelenggarakan beberapa seminar dan workshop untuk meningkatkan kualitas sistem Braille tersebut. Pembaharuan sistem Braille Indonesia tersebut dibakukan dan diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan pada tahun 2000.

    Pengajaran tulisan Braille kepada siswa-siswa tunanetra pada umumnya dilaksanakan oleh guru-guru pendidikan khusus lulusan universitas yang mempunyai Departemen Pendidikan Khusus. Terdapat sekurang-kurangnya 11 universitas di Indonesia yang telah mempunyai Departemen Pendidikan Khusus, yaitu tujuh universitas di pulau Jawa, satu di Sumatera, satu di Kalimantan, dan dua universitas di Sulawesi.

    Satu hal yang sangat sering dikeluhkan oleh para pengguna Braille di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan bahan bacaan dalam tulisan Braille. Tampaknya permintaan akan Braille jauh melebihi kapasitas produksi Braille.
    Satu lembaga Pemerintah yang memproduksi bahan bacaan Braille adalah Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso yang berada di Kota Cimahi (bertetangga dengan Bandung). Lembaga ini berada di bawah Kementerian Sosial. BPBI terutama memproduksi majalah Gema Braille yang terbit setiap dua bulan. Di samping itu, BPBI juga mencetak novel dan buku-buku pengetahuan dan keterampilan untuk orang dewasa dalam jumlah terbatas.
    Lembaga lain yang merupakan produser utama bahan bacaan Braile adalah Yayasan Mitra Netra, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Mitra Netra memproduksi buku-buku sekolah dan buku pengetahuan umum untuk didistribusikan ke beberapa perpustakaan Braille di Indonesia.
    Untuk mengkonversi data “tulisan awas” ke dalam format Braille, Mitra Netra telah mengembangkan Braille Translation Software yang diberi nama MBC (Mitra Netra Braille Converter). Software ini dapat mengkonversi data ke dalam format Braille tulisan penuh (uncontracted Braille), tulisan singkat Indonesia, maupun ke dalam format contracted English Braille.
    Selain itu, untuk mempercepat produksi bahan-bahan bacaan Braille, Mitra Netra juga telah berinisiatif membangun KEBI (Komunitas E-Braille Indonesia) dan KEBI Online Library (http://www.mitranetra.or.id/library/). KEBI beranggotakan lembaga/organisasi pemberdaya tunanetra (Sekolah Khusus, organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan), individu tunanetra (pengguna buku Braille) serta individu bukan tunanetra (praktisi rehabilitasi dan pendidikan tunanetra). Melalui Komunitas ini, para produser buku Braille di seluruh Indonesia yang telah menjadi anggota KEBI dapat saling bekerjasama, berbagi tugas dan tukar-menukar file. Hal ini dapat mencegah duplikasi upaya transkripsi - buku yang sama disalin ke dalam format Braille berulang-ulang oleh lembaga yang berbeda. Anggota yang ingin mencetak buku Braille dapat langsung mengunduh file buku yang ada di dalam KEBI Online Library, dan mencetaknya dengan Braille Embosser mereka.
    Pada tahun 1998, Pemerintah Indonesia telah mengimpor sejumlah Braillo Embosser dari Norwegia dan mendistribusikannya ke Sekolah-sekolah Khusus bagi Tunanetra yang telah ditunjuk menjadi Pusat Sumber (Resource Centres). Ada sembilan SLB/A yang ditunjuk menjadi Pusat Sumber. Pusat-pusat Sumber ini diharapkan dapat memproduksi buku-buku Braille untuk SLB/A yang berada di wilayahnya.

    Meskipun sudah ada upaya-upaya sebagaimana dijelaskan di atas, tetapi tingkat literasi Braille di kalangan tunanetra di Indonesia tampaknya masih sangat rendah. Hal itu mungkin disebabkan karena jumlah bahan bacaan Braille yang tersedia masih sangat terbatas, dan jenis bacaan yang tersedia masih belum memenuhi kebutuhan dan minat sebagian besar pembaca. Keadaan ini mengakibatkan banyak orang tunanetra beralih ke bahan bacaan dalam format lain seperti buku audio dan buku elektronik.
    Kolaborasi di kalangan negara-negara rumpun bangsa Melayu (seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura)mungkin akan dapat mengatasi masalah literasi Braille tersebut.
    Pada tahun 2013, the Diplomatic Conference, yang diselenggarakan di kota Marrakesh, Maroko, telah menyepakati MARRAKESH TREATY TO FACILITATE ACCESS TO PUBLISHED WORKS FOR PERSONS WHO ARE BLIND, VISUALLY IMPAIRED, OR OTHERWISE PRINT DISABLED. Tujuan treaty ini adalah untuk membantu mengatasi kekurangan buku yang dihadapi oleh para tunanetra atau “print disabled”. Sekarang ini masih sangat sedikit buku yang sudah dibuat dalam format yang aksesibel, sebagian diakibatkan oleh hambatan undang-undang hak cipta (copyright). Treaty ini menghendaki agar negara-negara yang sudah meratifikasinya memberikan pengecualian agar lembaga-lembaga ketunanetraan diperbolehkan mencetak buku-buku itu dalam format yang aksesibel bagi orang tunanetra dan print disabled tanpa harus meminta izin dari pengarang atau penerbitnya. Selain itu, treaty ini juga memperbolehkan impor/ekspor versi aksesibel dari karya tulis itu tanpa izin dari pemegang hak ciptanya. Ini akan membantu menghindari duplikasi upaya-upaya transkripsi di berbagai negara, dan juga memungkinkan negara-negara yang mempunyai koleksi buku aksesibel yang lebih besar berbagi dengan negara lain yang berkekurangan.
    Untuk bahan bacaan dalam format Braille, kegiatan berbagi itu dapat dilakukan melalui cara seperti KEBI Online Library sebagaimana dijelaskan di atas.
    Namun demikian, ada satu masalah dengan akses ke bahan bacaan Braille berbahasa Melayu di negara-negara ASEAN ini, yaitu bahwa masing-masing negara mempunyai sistem tulisan singkat Braille sendiri. Ini berarti bahwa orang tunanetra Indonesia, misalnya, akan berkesulitan membaca buku dari Malaysia kecuali kalau mereka mau belajar sistem yang digunakan di Malaysia. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menyeragamkan sistem tulisan singkat Braille di kalangan negara-negara rumpun bangsa Melayu agar akses menjadi lebih mudah. Apabila penyeragaman ini sudah terjadi, maka software penerjemah Braille seperti MBC itu akan dapat dimanfaatkan secara lebih luas lintas negara.
    Dengan upaya-upaya tersebut di atas, upaya peningkatan literasi Braille di kalangan rumpun bangsa Melayu akan menjadi jauh lebih mudah.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI